BANDA ACEH – Tepat pada tanggal 19 Mei 2003 silam, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri memerintahkan aparat keamanan melancarkan operasi Darurat Militer untuk menumpas perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.
Darurat Militer diberlakukan setelah GAM tidak mengindahkan ultimatum Pemerintah RI untuk menerima Aceh sebagai daerah otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ultimatum dari RI ini diberikan pasca meninggalnya Panglima GAM Tgk Abdullah Syafi’i pada 22 Januari 2002 saat disergap oleh pasukan TNI dari Batalyon Infanteri Linud 330 tim II/C berjumlah 20 personil dan dipimpin oleh Serka I Ketut Muliastra di Cubo, Pidie, Aceh.
Para pemimpin GAM yang bermukim di Swedia menolak ultimatum dari Pemerintah RI. Hal ini membuat Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa mendesak kedua belah pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan damai di Tokyo Jepang.
Atas penolakan ini, Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Mei 2003 memerintahkan untuk diberlakukan darurat militer di Aceh selama enam bulan dan RI menempatkan 30.000 TNI dan 12.000 personil polisi di Aceh.
Pada bulan Mei 2004, Pemerintah RI menurunkan status darurat militer di Aceh menjadi darurat sipil. Tidak kurang ribuan anggota GAM dikabarkan terbunuh dan menyerahkan diri dalam operasi militer tersebut.
Lebih dari 2000 orang dilaporkan terbunuh sejak Mei 2003. Dari pihak TNI menyebutkan, korban terbunuh merupakan tentara GAM. Akan tetapi, kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI – lembaga negara yang independen), menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil.
Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan pasukan GAM juga turut bersalah atas kebrutalan yang terjadi selama perang di Aceh.,
Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi pengamat selama operasi militer ini. Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan, dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah atasan mereka.
Dikutip dari laman Wikipedia, Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975).
(sa/bna)