Opini  

Perkembangan Pengelolaan Bank Syariah di Indonesia

Ilustrasi perbankan syariah. - muslimdaily.net

Oleh: Liza Aulia Putri Sandea (Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung)

Saat ini, perkembangan perbankan syariah di Indonesia terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Apabila dilihat dari roadmap perbankan syariah Indonesia, pertumbuhan asset menunjukkan nilai positif meskipun angkanya cenderung fluktuatif. Pertumbuhan asset terkecil terjadi pada tahun 2019-2020 sebesar 9,93% dan 13,11%.

Hal ini disebabkan karena adanya pandemic Covid 19 yang melanda dunia termasuk Indonesia pada tahun 2019 menjelang 2020, sehingga melumpuhkan sebagian besar perekonomian negara. Seiring dengan fenomena pertumbuhan keuangan syariah yang semakin pesat, hal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana implementasinya di Indonesia? Apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah?

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syukri Iska, menjelaskan pandangannya terhadap implementasi pengelolaan dana bank syariah Indonesia. Seperti saat ini, salah satu produk jasa yang paling banyak diminati oleh nasabah adalah murabahah, Murabahah merupakan akad jual beli dengan menyatakan harga perolehan dengan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Akad ini biasa digunakan untuk transaksi seperti pembiayaan pembelian rumah, kendaraan bermotor maupun pembiayaan investasi membangun Gedung, dan lain sebagainya.

Namun pada implementasinya, ada beberapa pihak bank cenderung memperhitungkan nilai mark-up dengan jumlah pembiayaan dari bank (harga barang awal dikurangi uang muka), bukan kepada harga barang awal dari distributor, sehingga penghitungan dengan cara yang seperti itu sama saja tidak ada bedanya dengan sistem kredit yang ada pada bank konvensional karena apabila mengikuti sistem syariah, perhitungan mark-up seharusnya tetap kepada harga barang awal.

Akan tetapi, cara seperti itu telah diperbaiki. Saat ini, dalam akad murabahah telah diperhitungkan dengan harga barang awal ditambah dengan mark-up, tanpa mengurangi uang muka. Uang muka tersebut akan dianggap sebagai angsuran pertama.

Namun, sebenarnya system seperti ini akan merugikan pihak nasabah karena adanya kewajiban penabung untuk memberikan uang muka sebanyak 30% dari harga barang.

Selanjutnya, adapula akad mudharabah, yaitu akad penghimpunan dana berupa tabungan, deposito dan penyaluran dana dengan sistem bagi hasil, yakni system profit sharing dan revenue sharing.

Dalam penerapannya, profit sharing dinilai lebih menguntungkan dibanding revenue sharing, karena dalam revenue sharing terdapat pembebanan sepihak kepada nasabah dan akan menimbulkan ketidakadilan yang tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah.

Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang representasi Bank Syariah, karena adanya bagi hasil yang didapat lebih kecil sehingga nasabah tersebut memilih pindah ke Bank Konvensional.

Untuk itu, para nasabah merasa profit sharing lebih adil dan lebih besar dalam membagi hasil keuntungannya karena diperoleh dari hasil akhir setelah dikurangkan dengan beban operasional. Adanya kesenjangan antara implementasi dengan prinsip syariah dapat menjadikan transaksi tersebut tergolong ke dalam riba.

Oleh karena itu, sangat penting adanya pemahaman mengenai transaksi-transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah agar terlaksananya tujuan utama dari Bank Syariah sendiri, yakni tercapainya kesejahteraan dan kepuasan bagi setiap orang, dan agar meminimalisir risiko pembiayaan-pembiayaan akad pada Bank Syariah.