Mediasatunews.com | Meulaboh – Aktivitas galian C ilegal di kawasan pusat Kota Meulaboh, tepatnya di Desa Pasi Pinang, kawasan Krueng Meureubo dan Krueng Cangkoi, Kabupaten Aceh Barat, kian marak dan memprihatinkan. Di sejumlah titik, kapal atau boat yang menggunakan mesin penyedot pasir tampak beroperasi secara terbuka di bantaran sungai, tanpa tindakan tegas dari aparat penegak hukum.
Kegiatan tersebut bukan hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup parah, terutama di daerah aliran sungai (DAS) yang kini mulai tergerus akibat penyedotan pasir secara berlebihan. Tebing sungai di beberapa titik bahkan telah mengalami longsor, sehingga mengancam rumah warga dan fasilitas umum di sekitar lokasi.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra, menyebut fenomena ini sebagai bentuk lemahnya pengawasan dan dugaan adanya pembiaran oleh pihak terkait.
“Mustahil penegak hukum dan pemerintah daerah tidak tahu. Aktivitas ini berlangsung di tengah kota, bahkan dekat dengan jalan utama. Kalau tidak ada pembiaran, tidak mungkin bisa beroperasi sekian lama tanpa gangguan,” ujar Edy Syahputra saat ditemui di Meulaboh, Senin (13/10/2025).
Menurut Edy, aktivitas penambangan ilegal tersebut telah berlangsung cukup lama, tidak hanya di kecamatan Johan Pahlawan, aktivitas tersebut juga terjadi di kecamatan Meureubo, Kaway 16, Pante Ceureumen, Sungai Mas, Woyla dan Panton Reu, yang membuat masyarakat sekitar sudah sering mengeluhkan dampaknya. Selain menyebabkan kerusakan lingkungan, air sungai menjadi keruh, kualitas tanah menurun, serta akses jalan di sekitar lokasi rusak akibat lalu lintas kendaraan berat pengangkut material pasir.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran izin, tapi juga soal tanggung jawab lingkungan. Ketika sungai rusak dan tebing longsor, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadi korban utama. Pemerintah tidak boleh menutup mata,” tambahnya.
Dari data yang diperoleh Gerak Aceh Barat, saat ini terdapat sekitar Lima Perusahaan yang memiliki izin Eksploitasi galian C, di wilayah Aceh Barat. Sementara itu, tujuh perusahaan lainnya hanya memiliki izin eksplorasi, yang secara hukum belum diperbolehkan melakukan aktivitas penambangan penuh. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan dengan izin eksplorasi justru telah melakukan kegiatan eksploitasi secara terang-terangan.
“Banyak perusahaan yang memanfaatkan izin eksplorasi sebagai tameng untuk menambang secara komersial. Ini jelas pelanggaran hukum dan menunjukkan lemahnya pengawasan dari dinas teknis maupun aparat penegak hukum,” tegas Edy.
Ia juga menyoroti potensi kerugian daerah akibat aktivitas ilegal tersebut. Pasalnya, kegiatan penambangan tanpa izin resmi membuat daerah kehilangan potensi pendapatan dari pajak dan retribusi tambang yang seharusnya masuk ke kas pemerintah.
“Jika dihitung, kerugian negara akibat galian C ilegal ini bisa mencapai puluhan juta hingga Ratusan juta rupiah per tahun. Belum lagi dampak lingkungan yang butuh biaya besar untuk pemulihan,” ungkapnya.
Gerak Aceh Barat mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Dinas ESDM Aceh, dan Aparat Penegak Hukum untuk segera melakukan investigasi dan tindakan tegas terhadap seluruh pelaku, baik individu maupun perusahaan, yang terlibat dalam aktivitas tambang ilegal tersebut.
“Kami meminta Kapolres Aceh Barat, Kejaksaan, dan pihak terkait lainnya untuk turun langsung ke lapangan. Jika benar ada pembiaran, maka ini harus diusut tuntas karena bisa mengarah pada dugaan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang,” tutup Edy.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum terkait maraknya aktivitas galian C ilegal di kawasan pusat Kota Meulaboh tersebut.